Platyhelminthes
|
Kelas
|
Platyhelminthes adalah filum
dalam Kerajaan Animalia (hewan). Filum ini mencakup semua cacing
pipih kecuali Nemertea, yang dulu
merupakan salah satu kelas pada Platyhelminthes, yang telah dipisahkan.[1]
Ciri-ciri
Tubuh pipih
dosoventral
dan tidak bersegmen.
Umumnya, golongan cacing pipih hidup di sungai, danau, laut,
atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain.[2]. Cacing golongan ini sangat sensitif
terhadap cahaya.[2] Beberapa contoh Platyhelminthes adalah Planaria
yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2-3 cm), Bipalium
yang hidup di balik lumut lembap (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis
sinensis, cacing
hati, dan cacing pita.[2]
Struktur dan
fungsi tubuh
Platyhelminthes merupakan cacing yang tergolong triploblastik aselomata karena memiliki 3 lapisan
embrional yang terdiri dari ektoderma,
endoderma,
dan mesoderma.
[3] Namun, mesoderma cacing ini tidak
mengalami spesialisasi sehingga sel-selnya tetap seragam dan tidak membentuk
sel khusus.[3]
Sistem
pencernaan
Sistem pencernaan cacing pipih disebut sistem gastrovaskuler,
dimana peredaran makanan tidak melalui darah tetapi oleh usus.[3] Sistem pencernaan cacing pipih dimulai
dari mulut, faring, dan dilanjutkan ke kerongkongan.[3]. Di belakang kerongkongan ini terdapat usus
yang memiliki cabang ke seluruh tubuh.[3] Dengan demikian, selain mencerna
makanan, usus juga mengedarkan makanan ke seluruh tubuh.[3]
Selain itu, cacing pipih juga melakukan pembuangan
sisa makanan melalui mulut karena tidak memiliki anus.[3] Cacing pipih tidak memiliki sistem
transpor karena makanannya diedarkan melalui sistem gastrovaskuler.[3] Sementara itu, gas O2 dan CO2
dikeluarkan dari tubuhnya melalui proses difusi.[3]
Sistem syaraf
Ada beberapa macam sistem syaraf pada cacing pipih[3]:
- Sistem syaraf tangga tali merupakan sistem syaraf yang paling sederhana. [3]Pada sistem tersebut, pusat susunan saraf yang disebut sebagai ganglion otak terdapat di bagian kepala dan berjumlah sepasang. [3] Dari kedua ganglion otak tersebut keluar tali saraf sisi yang memanjang di bagian kiri dan kanan tubuh yang dihubungkan dengan serabut saraf melintang. [3]
- Pada cacing pipih yang lebih tinggi tingkatannya, sistem saraf dapat tersusun dari sel saraf (neuron) yang dibedakan menjadi sel saraf sensori (sel pembawa sinyal dari indera ke otak), sel saraf motor (sel pembawa dari otak ke efektor), dan sel asosiasi (perantara).[3]
Indera
Beberapa jenis cacing pipih memiliki sistem
penginderaan berupa oseli,
yaitu bintik mata yang mengandung pigmen peka terhadap cahaya. [3] Bintik mata tersebut biasanya berjumlah
sepasang dan terdapat di bagian anterior (kepala). [3] Seluruh cacing pipih memiliki indra
meraba dan sel kemoresptor di seluruh tubuhnya.[4] Beberapa spesies juga memiliki indra
tambahan berupa aurikula (telinga), statosista (pegatur keseimbangan), dan
reoreseptor (organ untuk mengetahui arah aliran sungai). [3] Umumnya, cacing pipih memiliki sistem
osmoregulasi yang disebut protonefridia. [5] Sistem ini terdiri dari saluran
berpembeluh yang berakhir di sel api.[4] Lubang pengeluaran cairan yang
dimilikinya disebut protonefridiofor
yang berjumlah sepasang atau lebih. [5] Sedangkan, sisa metabolisme tubuhnya dikeluarkan secara difusi
melalui dinding sel. [5]
Reproduksi
Cacing pipih dapat bereproduksi secara aseksual dengan membelah diri dan secara seksual dengan perkawinan silang, walaupun hewan
ini tergolong hermafrodit[6].
Klasifikasi
Platyhelminthes dapat
dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu Turbellaria (cacing bulu getar), Trematoda
(cacing hisap), Monogenea, dan Cestoda (cacing pita)[7].
- Kelas Turbellaria merupakan cacing pipih yang menggunakan bulu getar sebagai alat geraknya, contohnya adalah Planaria. [7]
- Kelas Trematoda memiliki alat hisap yang dilengkapi dengan kait untuk melekatkan diri pada inangnya karena golongan ini hidup sebagai parasit pada manusia dan hewan. [7] Beberapa contoh Trematoda adalah Fasciola (cacing hati), Clonorchis, dan Schistosoma[7]
- Kelas Cestoda memiliki kulit yang dilapisi kitin sehingga tidak tercemar oleh enzim di usus inang. [7] Cacing ini merupakan parasit pada hewan, contohnya adalah Taenia solium dan T. saginata[7] Spesies ini menggunakan skoleks untuk menempel pada usus inang. Taenia bereproduksi dengan menggunakan telur yang telah dibuahi dan di dalamnya terkandung larva yang disebut onkosfer[7]
Siklus Hidup Platyhelminthes
Fasciola
hepatica
Telur (bersama feces) -> larva bersilia
(mirasidium) -> siput air (lymnea auricularis atau lymnea javanica) ->
sporosista -> redia -> serkaria -> keluar dari tubuh siput ->
menempel pada rumput / tanaman air -> membentuk kista (metaserkaria) ->
dimakan domba(hepatica)/sapi(gigantica) -> usus -> hati -> sampai
dewasa
Chlornosis
sinensis
Telur (bersama feces) -> mirasidium -> siput air
-> sporosista -> menghasilkan redia -> menghasilkan serkaria ->
keluar dari tubuh siput -> ikan air tawar (menempel di ototnya) ->
membentuk kista (metaserkaria) -> ikan dimakan -> saluran pencernaan
-> hati -> sampai dewasa
Schistosoma
javanicum
Telur (bersama feces) -> mirasidium -> siput air
-> sporosista -> menghasilkan redia -> menghasilkan serkaria ->
keluar dari tubuh siput -> menembus kulit manusia -> pembuluh darah vena
Taenia saginata
/ Taenia Solium
Proglotid (bersama feces) -> mencemari makanan babi
-> babi -> usus babi (telur menetas jadi hexacan) -> aliran darah
-> otot/daging (sistiserkus) -> manusia -> usus manusia (sistiserkus
pecah -> skolex menempel di dinding usus) -> sampai dewasa di manusia
-> keluar bersama feces [8](Inggris)[3]
Penyakit yang
disebabkan Platyhelminthes
Schistosoma mansoni, penyebab Schistosoma
pada manusia.
Beberapa spesies Platyhelminthes dapat
menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan. [8] Salah satu diantaranya adalah genus Schistosoma
yang dapat menyebabkan skistosomiasis,
penyakit parasit yang ditularkan melalui siput air tawar pada manusia.[8] Apabila cacing tersebut berkembang di
tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung
kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia. [8](Inggris)[3] Kerusakan tersebut disebabkan
perkembanganbiakan cacing Schistosoma
di dalam tubuh hingga menyebabkan reaksi imunitas. Penyakit ini merupakan salah
satu penyakit endemik di Indonesia.[3] [8]. Contoh lainnya adalah Clonorchis
sinensis yang menyebabkan infeksi cacing hati pada
manusia dan hewan mamalia lainnya[9]. Spesies ini dapat menghisap darah
manusia[9]. Pada hewan, infeksi cacing pipih juga
dapat ditemukan, misalnya Scutariella didactyla yang menyerang udang
jenis Trogocaris dengan cara menghisap cairan tubuh udang tersebut

No comments:
Post a Comment